jilbab seorang wanita

wahai anak yang sholeha,,,, ingatlah,,,, aurat mu adalah akhlakmu.. 

Ada kerinduan untuk mendengarkan kembali syair-syair dari group kasidah Nasida Ria, khususnya syair jilbab putih. Meski sekarang group itu sudah tidak eksis lagi tapi boleh dibilang syair-syair lagunya tetap hidup bahkan lagunya menjadi semacam ramalan. Saya sendiri lebih menyukai lagu jilbab putih apalagi kalau saya sandingkan dengan fenomena jilbab sekarang.
Jilbab, dalam lirik tersebut, adalah lambang keanggunan dan ini diperkuat dengan “putih” yang menajamkan kata jilbab itu sendiri. Jilbab putih sebagai manefestasi, perwujudan dari kesucian, keelokan hati sang pemakai sehingga aura kecantikan itu muncul bersama kerudung ‘jilbab’ yang dipakai.
Pancaran keanggunan sang jilbaber (jilbaber di sini bukan mengacu pada wanita-wanita yang berkerudung besar saja, tetapi semua pemakai jilbab) akan semakin terpancar jika ada simpul senyum dalam rona wajahnya. Saya menafsirkan “sekilas senyum” dalam lirik tersebut sebagai keramah tamahan, sikap “grapyak“. Dan kenyataannya, yang saya temukan di lingkungan, baik itu kampus maupun lingkungan kos, banyak juga wanita-wanita berjilbab yang enggan untuk bertutur sapa, meski dengan “wong tuo”. Malah sebaliknya, mereka tak jarang menarik diri dari pergaulan lingkungan, entah karena merasa risih dengan lingkungannya atau mereka sebenarnya kikuk karena terlalu asyiknya dengan dunianya (kampu-kos) sehingga lupa bahwa mereka juga bagaian dari masyarkat setempat meski statusnya ‘perantuan’.
Memang ada semacam polarisai fenomena berjilbab sekarang ini, yang satu berjilbab terlalu brukut dan tak jarang mahal senyum, senyum hanya dengan komunitasnya. Dan yang kedua, berjilbab tetapi tidak berjilbab, maksudnya berjilbab tetapi belum mencerminkan sebagai seorang muslimah. Memang tak bisa dijustifikasi hanya dengan berjilbab bisa kita masukkan sebagai wanita sholehah sedangkan tidak berjilbab tidak sholehah. Karena baik-buruknya hati tak bisa diukur dari cara berpakaian seseorang, ada ungkapan jawa yang menyatakan sebagai ‘jalma tan kinoyo opo’.
Meski baik-buruknya hati tak bisa diukur dengan penampilan, akan tetapi ada kesepakatan umum bahwa orang baik akan menunjukkan dengan cara ‘berpakaian’. Pembaca boleh menyangkal semua ini (mengenai orang baik bisa kita bedakan dari gaya berpakainnya). Pembaca, dalam menilai seseorang, mesti yang pertama kali anda lihat tentu pakaiannya: apakah orang yang ada dihadapan pembaca itu mengenakan pakaian atau tidak? Norak atau necis?. Dengan melihat sekilas penampilannya, anda akan memasukkan orang yag di hadapan anda baik atau buruk, sopan atau tidak sopan. Setidaknya pakaian menjadi kekayaan, membawa harga diri bagi orangnya, ‘ajining diri ono ing lati ajining rogo ono ing busono’.
Saya tergerak menulis masalah jilbab ini tak lain karena melihat fenomena berjilbab sekarang bukan lagi sebagai identitas keagamaan yang sejati. Artinya karena berjilbab kita bisa menentukan kedalaman dan ketaatan seseorang dalam beragama. Malah sebailiknya, jilbab sekarang ini tak lebih hanya tren mode saja.
Saya mencoba menggali tujuan dan awal niat dari berjilbab beberapa teman. Jawabannya memang beragam, ada yang mengatakan berjilbab karena ada tuntunan dari al-Qur’an. Ketika saya Tanya lebih lanjut: surat dan ayat berapa tuntunan tersebut, jawabannya adalah mereka tahu dari orang tua mereka. Ini berarti jilbabnya karena warisan. Ada lagi yang menjawab, berjilbab karena ‘keinginan’ saja, tanpa ada unsur agama (syariat). Sedangkan jawaban yang lain, karena dengan berjilbab merasa nyaman dan aman sekaligus sebagai pembeda dengan wanita yang lain.
Latar belakang mengapa saya menanyakan tujuan awal teman-teman saya berjilbab sekaligus lahirnya tulisan ini adalah kekecewaan. Kekecewaan melihat wanita-wanita berjilbab yang kadang membuat saya sendiri melihat dan menaruh ketidakpercayaan pada wanita yang berjilbab. Saya tak tertarik untuk menceritakan di sini karena hemat saya pembaca sering menemukan kenyataan-kenyataan di sekitar seperti yang saya alami. Mungkin kenyataan-kenyaatan itu sudah menjadi hal yang umum dan dianngap sebagai hal yang biasa. Tetapi bagi saya, kenyataan itu sungguh memuakkan bahkan lebih asyik gak usah berjilbab, jika berjilbab tak mampu menunjukkan keanggunan sang pemakainya.
Kenyataan-kenyataan itulah yang mengantarkan saya untuk menanyakan sejarah awal perintah berjilbab sekaligus makna dan fungsi jilbab itu sendiri. Lalu, apakah jilbab mempunyai kemungkinan besar berubah menjadi corak budaya, bukan lagi corak keberagaman? Layaknya nasib kopyah, kalau dulu kopyah menjadi identitas sebagai muslim dan corak ini masih dipertahankan di desa-desa dan pesantren-pesantren. Untuk sekarang, kopyah boleh dipakai siapa saja karena itu menjadi salah satu ciri (identitas) laki-laki Indonesia. Akan terjadi pada jilbabkah hal yang demikian ini?

semoga wanita-wanita cantik nan di dambakan oleh para adam dapat menutup auratnya dengan sempurna,, karana di dalam alquran allah juga menjelaskan wanita yang baik untuk laki-laki yang baik, dan wanita yang jelek untuk lelaki yang jelek pula,,

semoga bermanfaat....
  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS

0 Response to "jilbab seorang wanita"

Posting Komentar